Indonesia dikenal dengan keberagaman keseniannya. Salah satu kesenian yang lahir dari Yogyakarta namun mungkin masih terdengar asing adalah Langen Mandra Wanara, sebuah seni tari klasik yang berkembang sekitar tahun 1890.
Menurut pihak Kraton Yogyakarta, kesenian ini diciptakan oleh KPH Yudonegoro III, menantu dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII.
Awalnya, pertunjukan digelar di halaman Dalem Yudanegaran, kediaman KPH Yudonegoro III. Namun setelah beliau dilantik menjadi Patih Dalem dengan gelar KPAA Danurejo VII, pementasan dipindahkan ke Kepatihan Danurejan.
Cerita dan Gerak Tari
Drama tari Langen Mandra Wanara mengambil kisah dari epos Ramayana, yang memang menjadi sumber inspirasi banyak kesenian Jawa.
Keunikan tarian ini terletak pada teknik joged jengkeng, yaitu menari dalam posisi berjongkok dengan lutut sebagai penyangga. Gerakan ini diciptakan agar tidak menyerupai Wayang Wong Keraton, yang ditarikan sambil berdiri.
Jika dibandingkan dengan Langendriya, meski sama-sama menggunakan teknik joged jengkeng, ada perbedaan signifikan: pada Langen Mandra Wanara lutut benar-benar menempel ke lantai, sehingga lebih menekankan ketahanan fisik penari.
Seni dan Istana yang Berpadu
Daya tarik utama Langen Mandra Wanara adalah perpaduan nilai adiluhung keraton dengan semangat kerakyatan.
- Dialog dan tembang yang dibawakan penuh nilai sastra.
- Improvisasi spontan memberi kesan dinamis dan hidup.
- Sorakan penonton kerap ikut mewarnai pertunjukan, menciptakan interaksi khas antara penampil dan penikmat.
Hal ini menjadikan Langen Mandra Wanara bukan sekadar pertunjukan istana, tetapi juga seni yang dekat dengan masyarakat.
Tata Busana dan Tata Rias
Keindahan Langen Mandra Wanara juga tercermin dari busana dan riasan penarinya.
- Penari putra: mengenakan ikat kepala tepen, kalung, kelat bahu, kamus timang, sampur, jarik, keris, hingga celana panji.
- Penari putri: memakai kain semekan, slepe, sampur, gelung kondhe, ceplok jebehan, sangsanan, dan sengkang.
Riasan mereka juga merujuk pada gaya Wayang Wong, sehingga semakin menegaskan keterikatan seni tari ini dengan tradisi keraton.
Perkembangan dan Tantangan
Pada awalnya, pertunjukan Langen Mandra Wanara sangat populer dan bahkan ikut memicu meningkatnya minat masyarakat terhadap seni pertunjukan. Namun, pada tahun 1930-an, kepopulerannya mulai meredup.
Beberapa penyebabnya:
- Wayang Wong semakin digalakkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
- Kondisi ekonomi Yogyakarta menurun sehingga minat masyarakat terhadap seni juga berkurang.
Kini, keberlangsungan Langen Mandra Wanara sepenuhnya berada di tangan kelompok seni masyarakat. Bentuk pertunjukan biasanya lebih ringkas, namun inti cerita dan nilai filosofinya tetap dijaga.
Makna dan Nilai Budaya
Langen Mandra Wanara menjadi simbol jembatan budaya antara dua dunia:
- Dari istana, ia mewarisi nilai agung, tertib, dan penuh wibawa.
- Dari rakyat, ia menyerap energi lugas, spontan, dan penuh semangat.
Kehadirannya membuktikan bahwa seni bisa menjadi ruang pertemuan antara nilai-nilai adiluhung dengan ekspresi sederhana masyarakat.
Sebagai bagian dari warisan budaya Yogyakarta, Langen Mandra Wanara adalah seni tari klasik yang unik dan sarat makna.
Seni ini bukan sekadar pertunjukan, melainkan representasi filosofi, estetika, dan identitas budaya yang menjembatani keraton dan rakyat.
Menjaga keberlangsungan Langen Mandra Wanara berarti juga menjaga salah satu warisan seni Nusantara agar tetap hidup dan dikenal generasi mendatang.







